Dugaan Pelanggaran HAM Oleh Menristekdikti
Oleh : Panca Putra Kurniawan,
S.H. M.Si*
Pasal 28E ayat 3 UUD 1945 menyebutkan : “Setiap orang berhak
atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”
Sebelumnya, dalam ketentuan pasal 28E ayat (2) ditegaskan :
“Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
Dalam konteks jaminan atas hak asasi manusia, setiap orang
memiliki seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
(pasal 1 angka 1 UU No. 39/1999 Tentang HAM).
Bahkan, UU No. 39/1999 Tentang HAM pada ketentuan pasal 3 disebutkan :
1. Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia
yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam semangat persaudaraaan.
2. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang
sama di depan hukum.
3. Setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Akhir-akhir ini, marak terjadi tindakan persekusi, pembungkaman
terhadap hak kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat.
Pengekangan kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya. Bahkan, sampai pada dilanggarnya jaminan atas
perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.
Meyakini Khilafah ajaran Islam, mengemukakannya diruang publik
-apalagi dalam ruang persidangan yang terbuka untuk umum- adalah bagian dari
pelaksanaan hak berdasarkan konstitusi dimana setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya.
Memaksakan keyakinan termasuk untuk menuding Khilafah bukan
ajaran Islam, adalah tindakan yang melanggar konstitusi dan HAM. Baik pejabat
maupun rakyat biasa, semuanya wajib menghormati hak asasi setiap warga negara
yang telah dijamin konstitusi.
Tindakan Menristekdikti yang secara otoriter memonitor (baca:
memata-matai) mahasiswa dengan mewajibkan pendaftaran akun sosmed bagi
mahasiswa baru, dugaan melakukan pemecatan pada dosen yang dituding terafiliasi
dengan HTI, memberi sanksi pembebasan tugas dan jabatan pada Prof. Suteki
melalui Rektorat, mengintimidasi dunia kampus dengan isu radikalisme yang tidak
jelas batasannya, upaya-upaya menutup keran intelektual dengan membuat
serangkaian kebijakan yang dapat dipahami sebagai larangan terhadap diskursus
intelektual akademik tentang pemikiran Islam dan Khilafah, kesemuanya adalah
tindakan yang berpotensi melanggar konstitusi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Diluar itu, tindakan yang tidak patut dan terkesan menyebar teror
ditengah publik, dengan membuat satu ultimatum berdasarkan tudingan tanpa
proses peradilan yang fair, meminta Prof. Suteki untuk memilih NKRI atau lepas
jabatan, adalah tindakan pejabat yang tidak layak, tidak etis, tidak patut dan
merupakan penghinaan atas kedaulatan hukum dan konstitusi.
Setiap orang secara hukum terbebas dari segala tuduhan,
terkecuali atas kekuatan putusan yang dikeluarkan suatu lembaga peradilan.
Tudingan yang dialamatkan kepada Prof. Suteki, adalah tudingan yang tidak layak
jika itu dilakukan oleh pejabat sekelas menteri.
Karenanya, secara hukum Komnas HAM wajib segera melakukan
tindakan penyelidikan atas adanya dugaan pelanggaran HAM oleh Menristekdikti.
Secara politik, menteri adalah jabatan politik. Ketidaklayakan dan ketidakpatutan
etis, termasuk tindakan dan kebijakan sewenang-wenang, mengharuskan Presiden
untuk mempertimbangkan pencopotan M. Nasir dari jabatannya sebagai
Menristekdikti.
Meskipun demikian, ada cara yang lebih etis dan penuh keadaban
dimana Menristekdikti tidak perlu menunggu pencopotan jabatannya. M. Nasir
dapat mengajukan pengunduran diri kepada Presiden, sebagai bentuk
pertanggungjawaban etis atas tindakannya yang keliru.
Namun, jika kultur mengundurkan diri ini belum dimiliki oleh
pejabat di negeri ini, alangkah elok jika otoritas diatas menteri segera
mencopotnya agar menjadi pelajaran dan perhatian bagi pejabat publik. Publik
juga menjadi lega, karena setiap kesalahan telah diberi pertanggungjawaban
secara fair. Tindakan ini, juga akan menghilangkan praduga publik atas adanya
kesimpulan kekuasaan yang sedang dijalankan memberi perlindungan pada
kesewenang-wenangan.
*LBH Pelita
Umat Korwil DKI Jakarta