Menyoal Intervensi Kemenristekdikti
Kami sangat prihatin dan menyayangkan atas apa yang
dialami oleh Prof. Suteki, S.H. M.Hum, yang mendapat sanksi atas kehadiran
beliau memberikan keterangan sebagai ahli, baik pada forum pengadilan di
Mahkamah Konstitusi sehubungan adanya Juducial Review terhadap Perppu Ormas,
atau dalam forum Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta atas adanya sengketa gugatan
TUN antara HTI vs Kemenkumham.
Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi, sebab
keterangan yang beliau berikan berdasarkan kapasitas ilmu dan daya intelektual
sebagai seorang Guru Besar Hukum. Keterangan juga disampaikan pada sebuah forum
pengadilan yang fair, terbuka untuk umum, para pihak baik penggugat maupun
tergugat memiki hak yang sama untuk bertanya dan mengklarifikasi pendapat yang
beliau disampaikan.
Pendapat beliau juga bukan pendapat yang mengikat
secara hukum. Keterangan ahli hanya berfungsi untuk membuat terang satu
pendapat hukum tertentu tentang adanya perselisihan pendapat mengenai tafsir
atau doktrin hukum tertentu. Majelis hakim dapat mempertimbangkan atau
mengabaikannya.
Pada faktanya, putusan PTUN Jakarta yang amarnya
menolak gugatan HTI (yang saat ini tengah mengambil upaya hukum banding), tidak
mempertimbangkan pendapat Prof. Suteki terkait keabsahan alat bukti. Majelis
hakim lebih condong pada ahli yang dihadirkan Pemerintah Prof. Zudan Arif
Fakrulloh (Direktur Dukcapil Kemendagri) yang menjadikan argumen pelanggaran
norma yang berkelanjutan untuk memberikan dasar keabsahan bukti yang sudah
daluarsa.
Anehnya, atas keterangan Prof Suteki ini, justru
beliau mendapat sanksi dari Rektorat yang sebelumnya memang diperintahkan
Kemenristekdikti. Tindakan Kemenristekdikti melalui Rektor ini, menjadikan
insan sivitas akademika merasa terancam kebebasannya dalam mengungkap dan
menyatakan pendapat. Jika sekelas Profesor, Guru Besar Hukum saja tidak luput
dari persekusi, apalagi dosen dan mahasiswa biasa ?
Karenanya LBH PELITA UMAT di Jakarta, segera membangun
sinergi dengan tim hukum PA 212 untuk memberikan advokasi hukum terhadap hal
ini. Kami, LBH PELITA UMAT Korwil Jateng yang berkedudukan di Semarang, juga
melakukan hal yang sama.
ARTIKEL LAINNYA
Upaya Kemenristekdikti yang offside memasuki ruang
steril kampus, menginjeksi pengaruh kekuasaan, dan memaksakan tafsir akademik
versi penguasa kepada insan sivitas akademika, tidak boleh dibiarkan. Segenap
praktisi dan akademisi hukum wajib bertindak, memberikan dukungan dan
pembelaan.
Negara ini telah didesain dengan komitmen negara
hukum, bukan negara kekuasaan. Negara, tidak boleh dikelola dengan logika
sekehendak hati, tanpa mengindahkan asas dan prosedur hukum yang Sahih.
Pembiaran terhadap aktivitas persekusi dan penyebaran
teror di lingkungan kampus, dikhawatirkan akan menjadi lonceng kematian bagi
ilmu pengetahuan dan intelektualitas kampus.
Penegakan Hukum yang tumpul, sudah tidak bisa
diharapkan, jangan ditambah dengan membasmi kebebasan berfikir dan logika ilmu
kaum cendekia. Segenap elemen anak bangsa, wajib menyingsingkan lengan baju,
turut bergerak memberikan pembelaan.
Jika kita -pada generasi yang hidup hari ini- tidak
berbuat sesuatu untuk mencegah dan menghilangkan gejala kediktatoran kampus,
lantas apa yang musti kita sampaikan pada generasi anak cucu setelahnya? Jika
kita tidak bergegas bertindak, lantas apa argumen kita di yaumul hisab kelak
atas maraknya kezaliman yang terjadi ?
Persoalan ini tidak sebatas dalam konteks duniawi, kezaliman
kampus yang dibiarkan memiliki implikasi ukhrowi. Kita, ingin kelak dihisab
bersama barisan penentang kezaliman. Kita ingin dihisab, dalam barisan kaum
pejuang. Kita, tidak ingin dihisab sementara kita berada diantara kaum yang
khianat, dusta dan zalim.
*LBH Pelita Umat Korwil Jateng