KEMENRISTEKDIKTI DIDUGA MELAKUKAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN WEWENANG/JABATAN (ABUSE OF POWER)
Oleh : Akmal
Kamil Nasution, S.H (LBH Pelita Umat Korwil Kepri)
Muhammad Nasir (KEMENRISTEKDIKTI) sebagaimana yang di
beritakan
(http://www.aktual.com/menristekdikti-ancam-selesaikan-rektor-undip-terkait-suteki/)
telah memberikan pilihan kepada Prof Dr Suteki MHum dengan kalimat “kembali
kepada NKRI atau copot dari jabatannya”, kalimat ini memang ditujukan kepada
Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP). Namun pihak yang dituju adalah Prof
Suteki, S.H. M.Hum, Guru Besar Hukum FH UNDIP, yang dituding berafiliasi dengan
HTI dan membenarkan ide khilafah sebagai Ajaran Islam dan tidak bertentangan
dengan Pancasila.
Perintah ini langsung ditindaklanjuti oleh pihak
Rektorat UNDIP. Prof Suteki langsung mendapat sanksi dibebastugaskan dari
jabatannya sebagai Kepala Jurusan Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro.
Ujaran Menristekdikti ini memaksa Prof Suteki
menanggalkan kapasitas keilmuannya, pengalaman sebagai dosen pengajar Pancasila
selama 24 tahun tidak berbekas. Prof. Suteki dipaksa mengikuti tafsir Pancasila
versi penguasa, bahkan beliau diminta untuk meninggalkan keyakinan Khilafah
sebagai ajaran Islam atau dicopot dari jabatannya.
Dari perspektif gramatikal, Penulis berpandangan
ujaran Muhammad Nasir ini sama dengan slogan Amerika yang dipopulerkan Bush
“you with us or with terroris” atau ujaran Umayyah bin Khalaf ketika menyiksa
Bilal bin Rabah “ikutilah apa yang kami katakan” kalau tidak Bilal akan terus
mendapatkan siksaan. Bukankah publik juga dapat menyimpulkan adanya kesamaan
sifat ujaran yang sama-sama memaksa, otoriter dan zalim ?
Sementara dari perspektif pidana, ujaran dan tindakan
Menristekdikti ini dapat diklasifikasi melakukan tindak pidana penyalah gunaan
jabatan (abuse of power) sebagaimana diatur pada Pasal 421 KUHP BAB XXVIII
tentang Pidana Jabatan “seorang pejabat yang menyalah gunakan kekuasaan memaksa
seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, diancam
dengan pidana penjara dua tahun delapan bulan”_,
Pasal ini menurut hemat penulis terdiri dari dua unsur
pidana, pertama : seorang pejabat, kedua : menyalahgunakan kekuasaan memaksa
seseorang untuk melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu. Namun,
apakah ujaran dan tindakan Menristekdikti dapat memenuhi kedua unsur pidana ini
?
Unsur seorang pejabat, Muhammad Nasir adalah seorang
pejabat negara/penyelenggara negara yang berstatus sebagai Menteri RISTEKDIKTI,
pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan
Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, atau pasal 11 ayat (1) huruf g, UU
Nomor 43 Tahun 1999 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974
TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN, dengan gamblang menyebutkan bahwa Menteri itu
adalah pejabat/penyelenggara negara.
Sementara unsur menyalahgunakan kekuasaan memaksa
seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu tidaklah
menjadi unsur komulatif, sebab dicantumkan tanda koma dan kata atau, maka
apabila ada kelengkapan bukti (ujaran “kembali kepada NKRI atau copot dari
jabatannya” dapat dijadikan bukti) KEMENRISTEKDIKTI melakukan pemaksaan
seseorang dalam hal ini Prof Suteki untuk melakukan tindakan meninggalkan
Pendapat hukumnya tentang ide Khilafah, pendapat hukumnya tentang HTI maka
sudah dapat memenuhi unsur pidana yang kedua ini.
Jika Pasal 421 dianggap sebagai delik aduan maka dalam
hal ini Prof Suteki adalah pihak yang merasa dirugikan, maka Prof Suteki atau
sivitas akademika lainnya yang mendapat perlakuan sama, baik oleh menteri
secara langsung atau melalui rektorat, berhak untuk mangadukan Muhammad Nasir
(KEMENRISTEKDIKTI) kepada Kepolisian dan Kepolisian berkewajiban untuk
melakukan rangkaian proses penyelidikan dan penyidikan dengan melakukan
pemanggilan dan pemeriksaan sebagai bentuk ketaatan pada asas equality before
the law.
Apabila perkaranya sampai ke pengadilan maka Muhammad
Nasir (MENRISTEKDIKTI) dapat di dakwa dengan pidana penyalahgunaan jabatan
sebagaimana diatur Pasal 421 KUHP dengan ancaman pidana penjara dua tahun
delapan bulan. Konsekuensinya, jabatan menteri Riset Teknologi dan Pendidikan
Tinggi yang diemban M. Nasir, secara etis politik wajib dicopot oleh Presiden.