MENGUKUR KEARIFAN PENYIDIK POLRI DALAM KASUS MOH SUHERMAN
Oleh: Akmal
Kamil Nasution, SH (LBH Pelita Umat Korwil Kepri)
Terhitung sejak tanggal 26 Juni 2018 sampai saat ini
Moh. Suherman masih ditahan oleh Penyidik di Polresta Bekasi. Persoalan remeh
temeh mengirim secara japri konten photo/gambar diduga perjanjian gereja
dan pendeta dengan Rahmat Efendi (walikota bekasi) kepada 5 orang pemilik nomor
whatsApp yang ada di Handphonenya telah menjadikan Suherman sebagai
tersangka ujaran Provokatif SARA Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pada tanggal 26 Juni 2018 Suherman menjadi
tersangka setelah ada laporan Pendeta Yohanes Nur, dimana sehari setelah
lapotan esok harinya Kepolisian langsung menangkap dan menahan sekaligus
menetapkan statusnya sebagai tersangka.
Tindakan “kilat” Polri telah menjadi penilaian negatif
bagi masyarakat Muslim Kota Bekasi. Pasalnya mereka menilai Polisi tidak adil
dan beda perlakuan terhadap penista agama Islam seperti Victor Laiskodat,
Sukmawati, Cornelis, Joshua dsb yang tidak tampak kelanjutan proses hukumnya.
Terkait Sukmawati yang menggegerkan saentero Muslim Nusantara malah Polri
memberikan SP3.
Sisi lain kuasa hukum Moh Suherman menduga bahwa Polri
memang tidak bijak dalam menangani kasus ini, sebab tidak ada tindakan arif
dari Kepolisian untuk memediasi Pelapor dengan Terlapor sebelum proses hukum
dilanjutkan, padahal mediasi itu lazim dilakukan Kepolisian dalam menangani
suatu perkara.
Mudah saja bagi Penyidik untuk memediasi/mendamaikan
pihak terkait, menekankan saling pengertian demi keamanan dan menjaga
stabilitas kota bekasi dari konflik Islam dan Kristen.
Mediasi yang dilakukan Polri memang tidak diatur dalam
KUHAP maupun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, tapi dapat dilihat pada Peraturan di bawah Undang-Undang.
Surat Kapolri No. Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS Tgl 14 Desember 2009 tentang
Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR).
ADR memberikan peluang kepada Polri untuk melakukan
‘Restoratif Justice’ atau keadilan restorasi dimana pendekatan penyelesaian
kasus hukum dengan mediasi dan dialog dengan salah satu pertimbangannya perkara
yang dihadapi adalah perkara yang rentan melibatkan kekuatan massa dan terjadi
konflik politik dan SARA.
Tapi entah apa yang ada dipikiran penyidik, sehari
lapor dan sehari berikutnya langsung Moh Suherman ditangkap. Tentu wajar ada
pihak yang menduga kasus ini pesanan, ditambah lagi tampak begitu berat bagi
Penyidik Polri untuk mengabulkan Penagguhan Penahanan padahal sudah ada pihak
yang menjamin.
Polri juga bisa menilai kasus ini bukan kasus
pembunuhan atau narkoba yang terkategori kasus berat. Pelakunya juga bukan
mafia atau residivis yang memungkinkan untuk lari dan mengulangi perbuatannya.
Alih-alih mengabulkan permohonan penangguhan penahanan malah kuasa hukum Moh
Suherman menerima informasi dari penyidik akan ada perpanjangan waktu
penahanan.
Kuasa hukum Moh Suherman juga menilai ada keanehan
terkait pasal yang disangkakan terhadap Moh. Suherman. Yang disangkakan hanya
Pasal 28 ayat (2) Jo Pasal 45A ayat (2) tentang ujaran Provokatif SARA dan
tidak disangkakan pasal 35 Jo Pasal 51 ayat (1) tentang penyebaran informasi
Hoax, dalam kasus ini adalah photo/gambar yang diduga hoax, apakah ada
kekhawatiran masyarakat akan mempertanyakan keaslian gambar/photo yang tersebar
itu ? Sebab banyak pihak menduga perjanjian itu memang benar, ada tanda tangan
di atas matrai, ada stempel basah dan isi maupun redaksi perjanjian yang tampak
profesional. Kenapa Moh Suherman saja yang dipersoalkan dan tidak mempersoalkan
photo/gambar perjanjiannya.
Maka dari itu untuk menjamin citra/ nama baik Polri,
agar tidak dianggap tebang pilih/tidak adil, maka alangkah arifnya Polri
memberikan SP3 kepada Moh. Suherman. Kalaupun tidak berikanlah penangguhan
penahanan.
Bukankah kebaikan akan dibalas dengan kebaikan ?
bukankah kita berharap ampunan dari Allah ? Bukankah amal akhirat itu lebih
baik dan kekal ? Bukankah setiap yang bernyawa akan merasakan mati ? Bukankah
pangkat, jabatan dan profesi akan dimintai pertanggung jawaban di _yaumil
mizan_. Maka sekali lagi akan sangat arif apabila Penyidik memberikan SP3
kepada Moh Suherman, kalaupun tidak berikanlah penangguhan penahanan.
Wallahu A’lam Bissawab.