MENRISTEKDIKTI LAYAK DICOPOT [Catatan Hukum Aksi 6/7]
Oleh: Ahmad Khozinudin,
S.H. Ketua LBH PELITA UMAT
Pada gelaran aksi persaudaraan alumni 212, salah satu tuntutan
peserta aksi adalah pencopotan Menristekdikti radikal. Tuntutan itu, melengkapi
tuntutan lainnya berupa tuntutan proses hukum terhadap para Penista agama,
tolak PJ Gubernur Jabar, tuntut proses tuntas kasus E KTP dan tuntutan
pembebasan para aktivis Islam.
Tuntutan copot Menristekdikti didasarkan pada beberapa
pertimbangan, diantaranya :
Pertama, Menristekdikti dipandang radikal dan arogan,
mengumbar sanksi penjabat di lingkungan ASN secara terbuka, padahal dugaan
pelanggaran baru sebatas pelanggaran etik. Pelanggaran itupun, sebatas tuduhan
sepihak dengan dalih narasi isu radikalisme kampus.
Padahal, pejabat ASN adalah pejabat negara yang
menjankan tugas dan fungsi negara. Seharusnya, ASN mendapat perlindungan dan
pengayoman dari negara, teguran secara mendidik wajib dilayangkan secara privat
dan langsung, tanpa mengimbaunya keruang publik.
Dengan melakukan monsterisasi isu radikalisme kampus,
mempublikasikan serangkaian aksi dan tindakan pemberian sanksi pada ASN,
membuat kampus menjadi ruang angket dan penuh ketegangan. Teror dan ancaman
yang dituduhkan satu pihak keatas pihak lainnya, akan menjadi perilaku yang
lazim. Padahal, dunia kampus adalah dunia ilmu, ruang akademik. Ruang dimana
setiap insan sivitas akademika, saling menghargai dan menghormati satu dengan
lainnya.
Kedua, tindakan Menristekdikti yang memberi sanksi
melalui Rektorat atas kebebasan mimbar akademik, menyampaikan aspirasi dan
pendapat berbasis nilai dan keilmuan, adalah bentuk pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM). Untuk kasus Prof. Suteki misalnya, Menristek dikti mengancam
agar sang profesor memilih NKRI.
Sungguh, satu tudingan tidak berdasar ketika seorang
profesor pengajar Pancasila selama 24 tahun, di persekusi dengan ungkapan untuk
memilih NKRI. Bukankah ini tudingan terhadap kredebilitas sang profesor ?
Jika dasar yang dijadikan pijakan, adalah kehadiran
sang profesor sebagai ahli dalam forum pengadilan, baik di Mahkamah konstitusi
atau pengadilan tata usaha negara Jakarta, bukankah aktivitas itu justru untuk
menunaikan kewajiban tri Dharma pendidikan tinggi ? Bukankah aktivitas itu
adalah aktivitas forum ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan ?
Terlebih lagi, jika opsi kembali ke NKRI dilayangkan
atas keistiqomahan sang Profesor yang tegas berpendapat Khilafah adalah ajaran Islam,
bukankah ini bagian dari ekspresi menjalankan hak kebebasan berpendapat ?
Apalagi ini pendapat seorang profesor, bukanlah lebih layak disebut pendapat
ketimbang suara orang kebanyakan ?
Memang benar, tidak semua orang berpendapat sama
dengan profesor Suteki. Namun, ketika profesor Suteki memilih pendapat Khilafah
ajaran Islam bukankah itu dijamin konstitusi ? Apakah, konstitusi mewajibkan
rakyat memiliki kesatuan pendapatan? Apakah konstitusi mengharamkan perbedaan
pendapat ?
Ancaman Menristekdikti bukan isapan jempol, pihak
rektorat Undip Semarang telah menindaklanjuti dengan memberian sanksi kepada
Prof Suteki. Tidak saja sanksi akademik dan pembebastugasan dari jabatan,
penarikan berbagai fasilitas jabatan. Tetapi juga sanksi sosial.
Seorang profesor gaek, pengajar Pancasila kini
teralienasi di kampusnya sendiri tempat dia mengajar. Seluruh pandangan mata,
mengumbar aksara acuh dan melihat sang profesor laksana pelaku kejahatan
terhadap negara. Luar biasa !
Ketiga, persoalan radikalisme itu cenderung politis.
Radikalisme hingga saat ini tidak memiliki definisi baku. Radikalisme juga
tidak memilki payung hukum yang jelas. Radikalisme selalu diarahkan kepada umat
Islam yang menginginkan kembali kepada syariah Islam secara kaffah.
Jika tindakan radikal itu dilakukan OPM, yang secara
tegas anti NKRI, anti Pancasila, ingin mendirikan negara yang terpisah dari
NKRI, tidak ada satupun pernyataan negara yang menyebut gerakan OPM radikal.
Sementara dosen dan mahasiwa yang menginginkan taat kepada Allah, kembali pads
ajaran syariat Islam yang kaffah, memberikan keterangan di forum resmi
pengadilan dengan menegaskan Khilafah ajaran Islam, dituding radikal.
Dosen dan mahasiswa yang menginginkan Islam kaffah ini
tidak membawa senjata, tidak menggunakan kekerasan, tidak membunuh atau merusak
fasilitas publik, tidak ingin memisahkan diri dengan mengenai negara sendiri,
tidak melakukan tindakan radikal seperti yang dilakukan OPM. Mereka hanya
berdakwah, menyampaikan kebenaran dari Allah SWT kepada umat dan penguasa. Tidak
memaksa, tidak pula mengancam.
Keempat, menteri yang membuat kebijakan radikal, yang
menebar teror dan ancaman dilingkungan kampus, memerintahkan pemberian sanksi
kepada sivitas akademika dengan dalih radikalisme harus diberi sanksi. Sanksi
polotik yang perlu dan segera adalah mencopot sang menteri. Adapun sanksi
hukum, biarlah Komnas HAM menuntaskan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran
HAM yang dilakukan sang menteri.
Pasca rapat dengan Menristekdikti, rektor unes
Semarang mengeluarkan Surat Instruksi untuk mengawasi aktivitas dosen dan
mahasiswa dengan mewajibkan pendataan akun sosmed terkait isu radikalisme
kampus. Ironis, lembaga yang menjunjung tinggi nilai dan ilmu justru mengekang
kebebasan ekspresi kampus dengan melakuan pemantauan aktivitas sosmed.
Jadi, sangat tepat jika Menristekdikti dicopot dari
jabatannya. Tindakan ini, akan menjadi preseden pembelajaran kepada pejabat
negara untuk tidak serampangan membuat kebijakan tanpa mengindahkan hukum dan
peraturan. Pejabat negara, juga tidak boleh sekehendak hati mengumbar
pernyataan kepada publik, tanpa mengukur dengan nilai dan etika melindungi
bawahan, sebagai bagian dari perbaikan kinerja organisasi.
Sekali lagi, copot Menristekdikti.
Lindungi dosen dan mahasiswa dari radikalisme Kemenristekdikti. Sterilisasi
kampus, dari pengaruh intervensi kekuasaan.