MENYOAL TUDINGAN MASJID ‘TERPAPAR PAHAM RADIKAL’
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. Ketua LBH PELITA UMAT
Isu Radikalisme setelah sebelumnya dijadikan alat
untuk membungkam nalar kritis kampus dan memangkas ujaran berbeda dengan
penguasa melalui kebijakan Kemenristekdikti, ternyata isu ini juga dimainkan
rezim untuk membungkam umat Islam melalui Masjid. Masjid sebagai rumah ibadah
umat Islam, tempat mendekatkan diri kepada Allah SWT, tempat membina umat
Islam, tidak lepas dari fitnah isu radikal melalui dalih penelitian.
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
(P3M) dan Rumah Kebangsaan menyebut ada 41 masjid lembaga pemerintah yang
tersebar di Jakarta terindikasi terpapar paham radikal. Temuan ini diklaim
berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 100 masjid pemerintahan di Jakarta.
Penelitian dilakukan di 35 masjid di Kementerian, 28 masjid di Lembaga Negara
dan 37 masjid di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ada yang aneh, publik sebelumnya tidak pernah mengenal
P3M itu apa ? Rumah kebangsaan itu apa ? Lantas darimana urgensinya dan apa
kepentingannya, tiba-tiba muncul lembaga instant melakukan penelitian instan
dan menyebarkan temuan-temuan instant ?
Penelitian ini, memiliki banyak cacat baik ditinjau
dari aspek motif, kepentingan, bahkan hingga kebijakan teknis dan methode
survey. Jika kita telaah lebih dalam, terdapat banyak muskilah atas isu yang
digelontorkan.
Pertama, sejak
awal tidak ada definisi baku baik tentang radikalisme maupun radikal itu
sendiri. Terakhir, BNPT membuat koreksi atas saran dari PBB mengenai devinisi
Radikalisme, karena radikal tidak selalu berkonotasi negatif tetapi bisa juga
positif.
Dalam praktiknya, isu radikal sering digunakan untuk
meraih gain politik tertentu dan selalu menggunakan tafsir tunggal penguasa
untuk menentukan sebuah tindakan radikal atau tidak radikal. Sama dan sebangun
dengan isu terorisme.
Kita ambil contoh, Meskipun UU terorisme terbaru
menyebut secara jelas dalam devinisinya selain adanya unsur penggunaan
kekerasan dan menimbulkan korban jiwa dan harta benda, terorisme juga harus
memuat motif ideologi dan politik.
Namun definisi terorisme ini tidak dilekatkan pada
kasus OPM. Padahal, jelas OPM memiliki motif politik untuk memisahkan diri dari
NKRI, OPM jelas ingin melakukan disintegrasi bangsa. OPM juga terbuka
menggunakan cara-cara kekerasan dan penggunaan kekuatan fisik dan senjata.
Apakah label teroris disematkan pada kasus OPM ?
Tidak. OPM hanya disebut kelompok kekerasan bersenjata (KKB). Tidak ada
tindakan lebih yang diambil negara terhadap OPM, berbeda jika kasusnya
terorisme yang menimpa umat Islam. Densus 88 over akting memberangus terduga
teroris, bahkan semua media gegap gempita mengabarkannya.
Isu Radikslisme apalagi frasa “terpapar radikalisme”
juga lebih parah, tidak mampu membuat batasan yang jelas apa yang dimaksud
radikal dan radikalisme, apalagi terpapar radikalisme. Istilah “terpapar” lebih
cenderung ungkapan politik yang digunakan untuk tujuan menghororkan suasana.
Memangnya radikalisme itu sinar ultraviolet yang
paparan radiasinya bisa melalui media apapun ? Atau radio aktif isotop atom,
yang jika tidak ditangani radiasinya bisa membahayakan ? Ungkapan Lebai.
Kedua, survey-survey
serupa tidak pernah dilakukan secara objektif tapi mengarah pada objek tertentu
yang telah ditetapkan. Radikalisme Masjid, memangnya Gereja steril dari isu
Radikalisme ? memangnya Pura steril dari isu Radikalisme ? memangnya Vihara
steril dari isu Radikalisme ? memangnya Kelenteng steril dari isu Radikalisme ?
Kenapa isu radikalisme hanya di cangkokan kepada tempat ibadah umat Islam ?
Kenapa penelitian hanya dilakukan di Masjid ?
Hal ini sama persis dengan kelakuan Menristekdikti
yang mengusung isu Radikalisme kampus. Memangnya hanya kampus yang terpapar
radikalisme ? Bagaimana dengan partai politik ? Ada Parpol radikal, massanya
mengamuk di kantor media di Bogor didiamkan saja. Ada parpol Radikal, kalah
Pilkada massanya mengamuk mengobrak abrik dagangan orang, tidak dianggap
radikal ?
Ketiga, survey
masjid radikal ini hanya untuk menjadi dalih untuk mendeskreditkan umat Islam.
Terbukti, pasca penelitian di publis tokoh liberal seperti Azyumardi Azra yang
diwawancarai. Komentarnya kemana-mana, sampai pembenaran daftar 200 penceramah
dan perlunya sertifikasi mubaligh. Jika untuk gereja, memang ada program
sertifikasi Pastur atau pendeta ? Ada rekomendasi sertifikat biksu ?
Survey tidak dilakukan secara objektif untuk memotret
ada tidaknya radikalisme, baik di masjid, di gereja, di vihara, di kampus, di
lembaga DPR yang ‘radikal’ dalam membahas anggaran, tetapi dikhususkan kepada
masjid, kepada umat Islam.
Darisini dapat dipahami dengan jelas, tujuan
radikalisme adalah mendeskreditkan Islam, memojokkan agama Islam. Bagi umat
Islam yang ingin menerapkan syariat Islam secara kaffah pasti dituding radikal.
Keempat, survey
dilakukan pada tahun politik dimana kesadaran umat akan politik meningkat pesat
pasca aksi 212. Masjid, diketahui secara massif digunakan untuk melakukan penyadaran
politik dikalangan umat Islam. Masjid, tidak sekedar dipahami tempat sholat,
tetapi tempat melakukan pembinaan politik umat, kawah candradimuka umat, agar
umat memahami realitas politik dan membuat keputusan preferensi politik
berdasarkan petunjuk wahyu.
Inilah motif utama yang membuat rezim galau, setelah
kekuatan umat mampu menumbangkan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta. Rezim yang
sering menindas umat Islam ini, merasa perlu mengkerdilkan peran politik umat
termasuk menjauhkan umat dari masjid, atau setidak-tidaknya menjauhkan masjid
dari politik.
Oleh karenanya, umat tetap harus konsisten taat pada
syariat dan tidak Perlu menghiraukan ujaran siapapun yang menyelisihi petunjuk
wahyu. Tudingan apapun terhadap umat Islam, tidak akan mengubah apapun kecuali
umat semakin mantap memperjuangkan agama Islam, Qonaah berakidah Islam.
Konstitusi pasal 29 ayat (2) tegas
menyatakan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu. Bagi umat Islam, masjid adalah tempat ibadah. Bagi umat Islam, politik
juga termasuk aktivitas ibadah. Jadi, jangan curigai umat Islam yang
menjalankan hak konstitusional untuk beribadah pada ranah politik ditempat
ibadah (masjid) sesuai dengan keyakinan umat Islam. Wallahu a’lam bish Showab.