POLITIK ‘IMAN’ DAN IDENTITAS KETAATAN SECARA KAFFAH
Saiful Mujani, R William Liddle, dan Tom Peppinsky
menulis buku dengan judul “Voting behavior in Indonesia since Democratization
dan Piety and public opinion understanding Indonesia Islam”. Dalam sebuah
diskusi bedah buku, Sandiaga menyoroti mengenai politik identitas. Menurutnya,
politik identitas tak terlalu berpengaruh terhadap perolehan suara dalam
pemilu.
“Secara akademis buku tadi menyatakan bahwa pengaruh
politik indentitas tidak terlalu signifikan dalam kontestasi politik di
Indonesia. Dan itu terbukti waktu pilkada di DKI di mana isu yang tadi
disampaikan Pak Saiful di mana program beradu dengan program dan pembicaraannya
berkaitan dengan rasionalitas waktu di pilkada di DKI,” ungkap Sandiaga.
Meski tidak terlalu jauh mendalami buku tersebut, jika
yang dijadikan referensi adalah preferensi politik Pilkada DKI Jakarta,
sebagaimana Sandiaga ungkapkan, pernyataan Sandiaga bisa terbilang menyesatkan
opini publik.
Kita bisa kembali telusuri dialektika Pilkada DKI
Jakarta, dengan memperhatikan realitas sebagai berikut :
Pertama, nyaris tidak ada yang mampu menolak
kesimpulan bahwa Ahok memiliki kemampuan logistik dan pendanaan Pilkada yang
tak terbatas. Dukungan media, lini kekuasaan, jejaring pengusaha (kapitalis),
dukungan buzer yang nyaris tdk mampu ditandingi kelompok Anies – Sandi.
Kedua, program yang ditawarkan Ahok lebih realistis
dan aplikatif. Sebagian besar justru program yang telah diterapkan di DKI
Jakarta, mengingat Ahok calon incumbent.
Adapun program Anis Sandi, bisa terbilang program
visi, bahkan sebagiannya bisa dicemooh sebagai program utopia. Sebab, belum ada
bukti atas komitmen politik yang ditawarkan Anies – Sandi kepada warga Jakarta.
Ketiga, posisi Ahok yang incumbent menyebabkan Ahok
nyaris tak terbendung untuk mengoptimalkan program Pemda sebagai bagian dari
bahan kampanye politik dan klaim keberhasilan mengelola pemerintahan di DKI
Jakarta. Sepanjang sejarah, incumbent nyaris selalu mampu memenangkan
pertarungan karena memang didukung penuh sumber-sumber resmi anggaran dan
program pemerintahan yang dijalankan.
Keempat, Ahok diusung parpol-parpol besar yang
menggunakan mesin partai untuk menggolkan kemenangan Ahok. Nyaris mustahil,
mesin Anies Sandi yakni partai PKS dan Gerindra mampu menandingi koalisi
raksasa pengusung Ahok yang dimotori PDIP – Golkar.
Memang benar, saat itu polarisasi politik tidak saja
terbelah oleh kubu Ahok – djarot dan Anies – Sandi. Ada kubu lain, yakni umat
Islam yang sebagian mendukung Anies Sandi, sebagian lagi tidak, namun semua
ijma’ (sepakat) untuk menolak Ahok sebagai gubernur karena status kafir.
Pada awalnya, gerakan tolak Ahok tolak pemimpin kafir
ini tidak diperhitungkan, karena dianggap bukan gerakan mainstream.
Lama-kelamaan gerakan ini membesar, seiring kampanye masif yang digerakkan HTI
bersama seluruh komponen ormas dan umat Islam.
Meskipun demikian, massifnya kampanye tolak Ahok tolak
pemimpin kafir belum mampu menggerus elektabilitas Ahok yang berada diatas
angin, jauh melampaui Anies Sandi. Sampai akhirnya, terjadi tragedi di pulau
seribu ketika Ahok secara terbuka dan lancang berani menghina ayat suci Al
Quran.
Sejak saat itulah, politik iman dan identitas
keislaman bergolak menuntut aspirasinya terwadahi. Gerakan moral dan tuntutan
Ahok dipenjara, berujung pada status Ahok menjadi narapidana.
Sebelum vonis terhadap Ahok sang Penista agama,
gerakan politik keumatan yang didorong atas dasar keimanan dan pembelaan pada
kitab suci Al Quran terus menggelinding menggerus elektabilitas Ahok. Dalam
perspektif tertentu, Anies – Sandi mendapat durian runtuh dari gerakan politik
iman yang digerakkan umat Islam.
Karenanya, sebuah penyesatan politik yang terlalu
jauh, jika menganggap preferensi politik umat tidak terkait identitas
keislaman. Jika ditelusuri, politik yang berjalan tidak sekedar politik
identitas, tetapi politik yang didasarkan pada keimanan kepada Allah SWT, dan
berusaha mengamalkan ajaran Islam yakni umat Islam haram dipimpin pemimpin
kafir.
Karenanya, hemat penulis partai Islam justru harus
kembali kepada khittoh iman dan membangun citra politik berdasarkan politik
Iman. Keimanan kepada Allah SWT, keimanan pada kewajiban penerapan syariat
Islam secara kaffah. Jika partai Islam terjebak hanya pada politik identitas
Islam, tetapi meninggalkan basis iman dan pengamalan syariah secara kaffah maka
partai niscaya akan ditinggalkan.
Karenanya umat harus mendorong partai Islam agar
membawa visi dan misi Islam kaffah, memberikan dukungan terhadapnya karena
dorongan iman. Sebaliknya, partai juga harus segera kembali ke khittoh
perjuangan syariat Islam agar partai tidak ditinggalkan umat Islam.
Politik iman dan identitas ketaatan
kaffah kepada Allah SWT, dzat pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan,
akan membawa umat dan partai pada gerbang kemenangan yeng hakiki. Kemenangan
paripurna dengan ditegakkannya syariat Islam dimuka bumi.