RADIKALISME KAMPUS: FAKTA ATAU PROPAGANDA?
Oleh: Ahmad
Khozinudin, S.H. Ketua LBH PELITA UMAT
Pada hari Rabu 25 Juli 2018, penulis berkesempatan
hadir menjadi salah satu nara sumber dalam diskusi yang diadakan tabloid Media
Umat, mengambil tema “Radikalisme Kampus, Fakta atau propaganda ?”. Hadir
bersama penulis, dua nara sumber lain: Bang Fahri Hamzah dan Prof. Suteki.
Pada uraian fakta yang disampaikan Prof Suteki, kita
bisa mengetahui betapa sadisnya persekusi yang dijalankan kekuasaan menggunakan
organ kampus. Kehadiran seorang profesor, guru besar hukum, dalam sebuah forum
persidangan yang terbuka untuk umum, baik di forum pemberian keterangan ahli di
Mahkamah Konstitusi maupun di peradilan PTUN Jakarta, dijadikan argumen
menerapkan sanksi atas tudingan “tidak setia pada NKRI”.
Nampaknya phobia akan kritik telah menyebabkan rezim
ini mengidap penyakit akut. Siapapun yang mengkritik rezim, mengoreksi dan
meluruskan kesalahan rezim, dianggap sebagai musuh dan diklasifikasi sebagai
barisan anti NKRI, anti Pancasila, anti UUD 1945.
Pancasila sebagai falsafah negara dimonopoli oleh
rezim menjadi atribut kekuasaan. Sehingga, mudah sekali mengeluarkan ujaran
‘Aku Pancasila’ dan melabeli siapapun yang mengkritik rezim sebagai ‘anti
Pancasila’.
Padahal, jika Pancasila dimaknai sebagai menjaga
persatuan Indonesia, secara historis sebenarnya siapa yang punya andil atas
lepasnya Sipadan dan Ligitan ? Siapa yang punya andil atas lepasnya Timor timur
?
Jika Pancasila dimaknai sebagai permusyawaratan untuk
mufakat, siapa yang adu jotos hanya beda pendapat saat mendaftar caleg di KPU ?
Siapa yang menggeruduk kantor media di Bogor hanya karena tidak sependapat
dengan uraian kritik artikel berita ?
Atau kalau Pancasila dimaknai keadilan sosial, apakah
perlakuan rezim tehadap umat Islam, terhadap ulama dan para habaib,
mencerminkan keadilan ? Coba bandingkan perlakuan itu terhadap Victor
Laiskodat, Sukmawati, Ade Armando, adakah keadilan ?
Apalagi jika kita fokuskan pada diskursus
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengangguran meningkat, hutang
menggunung, rupiah limbung, aset dijual-jual, tambang diserahkan pada asing dan
aseng, lantas dimana letak kesejahteraan itu ?
Bahkan, jika Pancasila dimaknai sebagai konsepsi
keyakinan atas keberadaan Tuhan yang esa serta informasi yang dibawa-Nya, siapa
yang lantang dan terbuka mempertanyakan keberadaan kehidupan akhirat ? Siapa
yang justru ingin menghidupkan ideologi komunisme, setelah komunisme PKI
menorehkan sejarah berdarah-darah di negeri ini ?
Dari uraian tersebut, maka menjadi jelaslah bahwa
diskursus Pancasila bukanlah tema netral untuk mendudukan persoalan secara
proporsional ditinjau dari aspek filosofi dan asas yang diemban negara.
Diskursus Pancasila adalah diskursus untuk mengenyahkan lawan politik
berdasarkan praduga dan tendensi, dengan menjadikan Pancasila sebagai legacy
dan legitimasi.
Banyak kegaduhan politik dan sosial masyarakat yang
ditimbulkan akibat tudingan narasi anti Pancasila ini, tidak terkecuali isu
radikalisme kampus yang dihembuskan rezim. Sampai saat ini, tidak ada satupun
definisi baku mengenai istilah radikalisme. Apalagi jika ditinjau dari aspek
hukum, tidak ada satupun definisi hukum tentang radikalisme yang bisa dijadikan
parameter objektif untuk menghukumi persoalan.
Maka ketika kegaduhan ini dicari akar masalahnya,
menarik apa yang disampaikan Bang Fahri Hamzah yang menyebut sebab utamanya
adalah kejahilan. Negara kosong dari narasi membangun negeri, negara dipimpin
seorang yang hanya memiliki kualifikasi sebagai seorang wali kota. Indonesia
bukan lagi negara, tapi hanya daerah-daerah yang dipimpin seorang walikota.
Pemimpin bangsa ini miskin konsep, sepi dari visi masa
depan bangsa, tidak memiliki kecakapan untuk menata dan melihat masa depan
bangsa. Orang-orang disekitar Presiden, mengidap islamophobia yang akut.
Karenanya, seluruh narasi rongrongan terhadap negara selalu ditudingkan kepada
Islam.
Persekusi yang dialami Prof Suteki saat hadir di
sidang PTUN Jakarta maupun di MK, bukan karena sebab perbedaan pandangan
keilmuan. Tetapi atas adanya rasa kebencian terhadap Islam dan ajaran Islam
Khilafah.
Seandainya seluruh persidangan itu tidak dikaitkan
dengan Khilafah, niscaya tidak akan ada persekusi terhadap Prof Suteki, tidak
ada pula gerakan massal menggunggah isu radikalisme kampus di lingkungan
sivitas akademika.
Gerakan dakwah kampus dibekukan, pengajian-pengajian
dicurigai, mahasiswa kritis di sanksi, dosen dan para guru besar diintimidasi.
Sulit sekali untuk tidak mengatakan ada phobia super akut terhadap Islam di
negeri ini.
Karenanya dapat kita simpulkan isu radikalisme adalah
fakta sekaligus propaganda. Fakta bahwa isu itu benar digelorakan untuk menebar
teror dan ancaman di lingkungan sivitas akademika, sekaligus propaganda jahat
untuk menjauhkan insan kampus dari ajaran Islam Khilafah, bahkan ingin
menjauhkan umat dan insan kampus dari Islam itu sendiri.
Yang tidak ada Realitasnya adalah kenyataan adanya
radikalisme, radikalisme hanya isapan jempol semata, dongeng yang dibacakan di
siang bolong. Radikalisme adalah isu yang diproduksi untuk menekan gerakan
dakwah Islam dilingkungan kampus.
Para pemangku kebijakan di negeri ini memiliki
perspektif keliru terhadap Islam dan syariatnya. Syariat Islam yang Agung,
seharusnya dipahami sebagai solusi yang akan menyelamatkan negeri ini, bukan
sebaiknya dijadikan ancaman dan musuh.
Negeri ini terpuruk selama puluhan tahun bukan karena
menerapkan syariat Islam, negeri ini terpuruk justru karena puluhan tahun
menerapkan Sekulerisme demokrasi dan hukum warisan penjajah. Lantas, kenapa
seluruh kebobrokan ini ditudingkan kepada syariat Islam?
Sangat aneh, jika ada yang menolak syariat Islam
sebagai solusi. Sebenarnya mereka ini mau menyelamatkan negeri ini atau justru
yang mengambil keuntungan dari segala rupa carut marutnya persoalan ?
Sesungguhnya Allah SWT adalah dzat pencipta alam
semesta, pencipta kehidupan, pencipta manusia. Maka benarlah, jika Allah SWT
tahu apa yang paling baik dan maslahat bagi manusia.
Tidaklah Allah SWT mewajibkan syariat Islam untuk
mengatur kehidupan manusia, kecuali untuk memberi kebaikan bagi semesta alam.
Karena itu, aneh sekali jika masih ada makhluk dari golongan manusia yang
menentang syariat Islam.
Ketahuilah, saya sampaikan kepada
siapapun yang berusaha menentang dan menghalangi upaya perjuangan penegakan
syariat Islam, usaha kalian sia-sia. Allah SWT yang menurunkan agama ini, maka
Allah SWT yang akan menjaga dan memuliakan para pengembannya. Agama ini pasti
dimenangkan.