JOKOWI BERPOTENSI ABUSE OF POWER: TNI-POLRI ADALAH ALAT NEGARA, BUKAN ALAT KEKUASAAN
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. Ketua LBH PELITA UMAT
Saat memberikan pengarahan kepada anggota TNI dan
Polri di Istana Negara, Jokowi meminta kepada TNI dan Polri untuk
mensosialisasikan capaian kinerja pemerintah kepada masyarakat. Pengarahan itu
diberikan Jokowi kepada Siswa Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia
(Sesko TNI) dan Peserta Sekolah Staf dan Pimpinan Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Sespimti Polri) Tahun 2018 di Istana Negara, Jakarta (23/08).
Jokowi mengatakan sudah banyak program dan kerja yang
dilakukan oleh pemerintah.
“Saya titip seluruh perwira juga ikut
mensosialisasikan, ikut disampaikan pada momen-momen yang tepat untuk
menyampaikan itu,” ujarnya.
Dalam perspektif politik pemilu, seluruh aktivitas
penyelenggaraan pemerintahan oleh petahana, secara subtantif dapat dipahami dan
diarahkan sebagai materi kampanye. Bahkan, arah kebijakan penganggaran oleh
petahana pada tahun politik cenderung mengarah pada kampanye politik.
Pada gelaran Pilkada di beberapa daerah, banyak kepala
daerah selaku petahana yang mencalonkan diri pada Pilkada menggunakan politik
anggaran daerah untuk menangguk elektabilitas. Di kota bekasi misalnya,
walikota Bekasi Rahmat Efendi menggulirkan program jaminan kesehatan berbasis
NIK, menjelang proses Pilkada. Program ini secara tata kelola pemerintahan
adalah tugas sekaligus tanggung jawab Pemerintah dan negara, namun pengguliran
program jelang Pilkada tentu dapat dipahami sebagai manuver politik terselubung
menggunakan program pemerintahan untuk meraup elektabilitas calon yang maju
dalam gelaran Pilkada.
Betapapun itu aneh, namun hal ini lazim dilakukan oleh
petahana dan secara hukum sah dan legal. Tetapi pada kasus pidato Presiden
Jokowi yang meminta TNI – Polri menyosialisasikan program dan kinerja
pemerintah, ini jelas melabrak hukum dan konstitusi, dikarenakan :
Pertama, tugas pokok dan fungsi TNI dan Polri bukanlah
kepanjangan tangan penerintah dalam urusan publikasi dan komunikasi. TNI dan
Polri adalah organ negara yang menjalankan fungsi negara, bukan alat kekuasaan.
Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari
ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Sementara Tugas Pokok dan Fungsi kepolisian adalah
menjalankan fungsi negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat (pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 Tentang Kepoisian).
Kedua, Fungsi sosialisasi program dan pencapaian tata
kelola pemerintahan ada pada kementrian negara dan departemen terkait. Sebagai
organ eksekutif, Presiden dan para menteri memiliki tugas dan fungsi untuk
menjalankan pemerintahan, dari sejak perencanaan, sosialisasi, eksekusi hingga
evaluasi.
Sepanjang fungsi pemerintahan eksekutif dibawah
kendali Presiden berjalan baik, maka otomatis proses sosialisasi program dan
capaian Pemerintahan akan berjalan baik. Jika ada kendala dalam hal ini, boleh
jadi ada organ eksekutif yang tidak maksimal menjalankan fungsinya atau boleh
jadi sebabnya adalah program dan capaian pengelolaan pemerintahan yang tidak
menjual untuk disosialisasikan sebagai capaian prestasi dan kinerja pemerintahan.
Dalam bidang ekonomi misalnya, perlambatan pertumbuhan
ekonomi dibawah angka 5 % jauh dibawah ekspektasi penerintah yang sejak awal
kampanye pemilu 2014 memasang target ambisius angka pertumbuhan ekonomi pada
level 8 %. Belum lagi, nilai utang R.I. yang hingga saat ini menyentuh nilai
lebih dari 5000 T.
Jika capaian ini yang disosialisasikan, pastilah Pak
Jokowi tidak perlu mengalihkan peran dan fungsi TNI POLRI untuk menjalankan
fungsi Humas kepresidenan. Rakyat, telah mengetahui dan merasakan langsung
bahwa ekonomi kita sedang tidak baik, utang kita banyak, bahkan nilai rupiah
terpuruk pada akhir-akhir ini.
Ketiga, pengalihan fungsi TNI POLRI dan
mengkerdilkannya hanya untuk menjalankan fungsi kehumasan Presiden di
khawatirkan akan melalaikan fungsi dan tugas masing-masing institusi. Saat ini,
kita ketahui kedaulatan bangsa dan negara sedang diobok-obok gerakan separatis
di Papua. Harusnya, Presiden berpesan kepada TNI untuk menjadi garda terdepan
menjaga kedaulatan bangsa di Papua.
Demikian pula bobroknya penegakan hukum di negeri ini,
kriminalisasi ulama, kriminalisasi tokoh Islam, aktivis Islam, simbol hingga
ajaran Islam marak dipertontonkan. Presiden, seyogyanya berpesan kepada lembaga
kepolisian untuk menjalankan fungsi penegakan hukum secara adil, tidak pilih
kasih, tebang pilih atau diskriminasi. Presiden seharusnya mendorong kepolisian
untuk menegakan hukum seadil-adilnya, sekaligus mendorong proses penegakan
hukum terhadap para Penista agama seperti pada kasus busukma, karya Victor
Laiskodat, Ade Armando dan sederet persoalan hukum lainnya.
Mengingatkan bahaya korupsi yang kian akut seperti
mendorong KPK untuk segera mengusut tuntas skandal mega korupsi Freeport,
mengingatkan bahaya narkoba bahkan terakhir anggota DPR dari partai Nasdem tertangkap
mengedarkan sabu seberat 105 kg. Tentu hal ini lebih relevan diingatkan kepada
institusi kepolisian ketimbang mendistorsi peran kepolisian sehingga melakukan
tugas dikuar tupoksinya.
Keempat, cara-cara penggunaan kekuasaan diluar
kewenangan yang telah ditetapkan hukum dan konstitusi ini berpotensi bermasalah
secara hukum. Jika hal ini jatuh pada tindakan yang memenuhi ketentuan Pasal 7A
Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), bisa saja residen di makzulkan.
Penulis memahami di tahun politik ini Pak Jokowi perlu
meningkatkan elektabilitas ditengah merosotnya kepercayaan publik pada kinerja
pemerintahan. Sebagai petahana yang maju mencalonkan diri sebagai cawapres pada
polres 2019 adalah sah dan legal Pak Jokowi melakukan serangkaian tindakan
untuk meningkatkan kepercayaan publik pada kinerja Pemerintahan dan mengusulkan
diri sebagai sosok yang layak untuk dipilih kembali.
Hanya saja cara-cara yang ditempuh yang
menyalahi hukum dan konstitusi, penulis kira hal ini bukan menimbulkan
elektabilitas bagi petahana malah sebaliknya. Rakyat yang menonton parodi
pemerintahan yang tidak profesional ini, dapat membuat kesimpulan sepihak bahwa
negara tidak dijalankan secara benar oleh orang yang memiliki kapasitas dan
kemampuan untuk menjalankan fungsi Pemerintahan.