PERKARA SUHERMAN DILIMPAHKAN KE PENGADILAN
Oleh: Ahmad Khozinudin, SH
Ketua LBH PELITA UMAT
Ketua LBH PELITA UMAT
Rakyat kecil pencari keadilan, cenderung selalu
menjadi korban proses penegakan hukum yang mempertontonkan kejumawaan dibalik
dalih ‘wewenang’ berdasarkan undang undang. Pada Kasus Suherman, ketika jaksa
diberi penjelasan bahwa tersangka tidak akan lari, tidak akan menghilangkan
barang bukti dan tidak akan mengulangi pidana lagi, dalam proses di kepolisian
polres metro kota bekasi sudah ditangguhkan, ada jaminan keluarga, ulama dan
tokoh bekasi, namun penjelasan ini tidak memiliki arti. Jaksa mengunci diskusi
dengan dalih menahan tersangka adalah kewenangan jaksa.
Ketika diberi argumen, menahan itu wewenang yang
diberikan hukum untuk mengantisipasi kekhawatiran tersangka akan lari, akan
menghilangkan barang bukti dan akan mengulangi pidana lagi, bukan kewajiban
hukum. Artinya, wewenang ini menjadi tidak relevan jika ternyata tersangka
terbukti kooperatif, tidak lari, tidak menghilangkan barang bukti dan tidak
mengulangi pidana lagi. Namun lagi-lagi jawabannya itu wewenang jaksa, dengan
ditambah argumen klasik “sudah keputusan atasan”.
Tapi anehnya, ketika ada aksi massa, menuntut
penangguhan Suherman, argumen kewenangan jaksa ini menjadi hilang. Jaksa,
justru menyatakan tidak punya wewenang karena berkas sudah dilimpahkan
dipengadilankan. Terlihat sekali, 500 peserta demo untuk menyampaikan aspirasi
pembebasan Suherman hanya di pingpong, di perlakukan secara tidak adil.
Padahal, jika tidak ada aksi, tidak ada kunjungan
tokoh dan ulama, tidak ada 500 peserta hadir aksi menuntut pembebasan suherman,
kuat dugaan berkas masih ngendon di kejaksaan. Tidak ada kejelasan kapan
perkara akan disidangkan.
Para ulama dan tokoh yang hadir secara bergantian
memberi nasehat kepada jaksa di Kejari bekasi yang menerima kunjungan, untuk
berlaku adil. Sebelumnya, para ulama merasa kecewa, karena surat audiensi yang
ditujukan kepada Kajari, ternyata tidak ditemui Kajari. Pihak kajari hanya
mengutus kasi intel untuk menemui kiyai dan para tokoh.
Namun ada hikmah dibalik peristiwa ini, umat jadi
paham bagaimana model penegakan hukum yang dipertontonkan di negeri ini. Kasus
Suherman yang terlunta-lunta sejak ditingkat kepolisian juga baru dilimpahkan
ke kejaksaan ketika ada aksi massa. Sekarang, modus itu diadopsi pihak jaksa
ketika mendapat tekanan massa, baru cepat-cepat perkara dilimpahkan ke
pengadilan.
Dalam konteks penegakan hukum, tersangka belum
bersalah. Vonis pengadilan bisa memutus bebas. Namun, tindakan menahan
tersangka diduga seperti hendak menyalurkan atensi pihak tertentu, meskipun
tidak memiliki urgensi. Karenanya, wajar jika publik bertanya ada apa dengan
kasus ini ? Apakah ada kaitan kasus ini dengan pendeta dan walikota bekasi ?
Sebab, laporan perkara ini diajukan oleh pendeta Johanes Nur.
Konten foto diduga gambar atau dokumen perjanjian
walikota dengan unsur gereja di kota bekasi, memang menimbulkan praduga. Apa
benar itu terjadi ? Jika tidak, kenapa si pendeta bernafsu melapor ke polisi ?
Dan begitu cepat proses, sehari lapor, hari berikutnya Suherman langsung
ditangkap dan ditahan.
Walikota juga nampak bermain citra di kasus Suherman,
mengunjungi Suherman, memaafkan Suherman, tapi tidak membuat ikhtiar untuk
memfasilitasi perdamaian. Padahal, mudah saja bagi walikota untuk memanggil
pendeta Johanes Nur dan pihak Suherman untuk berunding. Polisi bisa
memfasilitasi perdamaian dengan menerapkan Surat Edaran No: 8/VII/2018 tentang
Penerapan Keadilan Restorasi (Restoratif Justice) dalam penyelesaian perkara
pidana.
Namun entah karena Suherman rakyat kecil, entah apakah
permaafan walikota hanya sekedar bermain citra, atau ada pihak-pihak yang memiliki
tendensi pada kasus ini -mengingat kasus ini bergulir- saat situasi Pilkada
kota bekasi, akhirnya Suherman dipaksa menjalani proses hukum. Suherman tidak
berdaya, manakala tangan-tangan kekuasaan melalui wewenang hukum kemudian
menyeretnya dalam kasus ini.
Penulis sendiri melihat adanya perlakuan berbeda dalam
kasus ini. Termasuk ketika massa ingin menyampaikan aspirasi, pemberitahuan
resmi aksi diadakan didepan kantor Kajari bekasi, tiba-tiba secara sepihak aksi
dipaksa diadakan di lapangan alun-alun kota. Karenanya penulis marah, dan
sempat adu argumen dengan petugas kepolisian.
Tidak ada pemberitahuan resmi secara tertulis atas
pengalihan lokasi aksi, kemudian secara sepihak perserta dialihkan. Padahal,
beberapa kali aksi buruh biasa diadakan didepan Kajari atau depan PN KOTA
BEKASI. Aspirasi itu disampaikan kepada Kajari, kalau dilakukan di alun-alun
siapa yang mendengar ?
Akhirnya setelah terjadi perdebatan, aksi dapat
bergeser dipinggir jalan didepan kantor Kodim Kota bekasi. Penulis memohon maaf
pada jajaran Kodim, karena aksi seyogyanya di depan kantor Kajari bukan didepan
pojok kantor Kodim. Tetapi karena polisi sepihak mengalihkan lokasi, akhirnya
aksi tertahan di pinggir jalan di pojok kantor Kodim kota bekasi.
Sebelumnya, juga terlihat upaya untuk menggembosi aksi
dengan berdalih sudah mendekati Idul Adha, ada agenda SeaGames. Padahal, meski
sedang melaksanakan puasa Arafah saat aksi karena esok memasuki Idul Adha,
peserta justru lebih bersemangat sebagaimana Rasulullah dan sahabat tidak menghentikan
aktivitas dakwah dan jihad saat berpuasa.
Berapa tokoh dan ulama juga dihimbau untuk tidak
mengadakan aksi. Alhamdulilah, atas keteguhan hati untuk membela saudara
muslim, atas kepahaman hukum bahwa menyampaikan aspirasi dan pendapat dijamin
konstitusi, aksi bela Suherman tolak arogansi jaksa terlaksana juga.
Akhirnya, perjuangan membela suherman
saat ini sampai pada proses persidangan. Beberapa hari kedepan, panggilan
sidang akan dilayangkan pihak pengadilan negeri bekasi. Harapan terakhir, semoga
hakim yang mengadili perkara suherman dapat bertindak arif, memberikan
penangguhan pada hari pertama sidang dan nantinya dapat memvonis suheman dengan
putusan bebas.