REPORTASE DISKUSI HUKUM LBH PELITA UMAT ISLAMIC LAWYERS FORUM 2
Hukum adalah produk politik, kekuasaan politik akan
menentukan corak dan aturan hukum yang diadopsi. Para penguasa, cenderung akan
mempertahankan kekuasaanya, dengan berbagai cara dan sarana, tak terkecuali
melalui pembuatan produk hukum.
Tak ada angin dan hujan, tiba-tiba terbit Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2018 tentang tata cara cuti atau mengundurkan diri
sebagai penyelenggara negara.
Dalam pasal 29 ayat (1) disebutkan :
“Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati,
walikota atau wakil walikota yang akan dicalonkan oleh partai politik peserta
pemilu sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus meminta izin
kepada presiden,”.
Secara normatif, peraturan ini tidak ada masalah.
Secara politik, PP ini telah mengadopsi cara-cara mempertahankan kekuasaan
dengan mencari legitimasi hukum untuk membatasi lawan politik untuk
berkontestasi dalam pemilihan.
Selain itu, publik juga dikejutkan dengan manuver
tokoh agama yang mengancam calon tertentu jika tidak mengusung figur cawapres
dari kelompok agama yang dipimpinnya. Bahkan, ancaman itu bukan sekedar ancaman
tetapi terbukti telah merubah konstelasi pencalonan di menit-menit akhir
pengumuman.
Prof Machfud MD mengurai dengan jelas, betapa
aktor-aktor politik berusaha mereduksi makna Islam dan menjadikannya sebagai
alat legitimasi, alat menekan dan memaksakan pilihan. Terbuka didepan publik,
bagaimana jubah dan sorban agama telah disalahgunakan untuk melampiaskan nafsu
berkuasa.
Pada saat yang sama, Jokowi sebagai presiden sekaligus
capres pada gelaran Pilpres 2019, tidak berdaya melawan tekanan politik itu.
Satu sikap kerdil, yang tidak bisa menjadi penengah dan penentu kebijakan
layaknya seorang pemimpin yang memiliki wibawa dan legacy kepemimpinan.
Pada saat pemilu dan Pilpres, simbol dan ajaran agama
Islam akan marak dijadikan sarana untuk mengunduh elektabilitas calon.
Sementara, persekusi dan kriminalisasi terhadap simbol dan ajaran Islam, masih
terus marak dipertontonkan.
Akankah agama Islam hanya akan ada dibawah ketiak
kekuasaan politik ? Akankah umat hanya akan menjadi alat pelanggengan kekuasaan
? Akankah, hukum sebagai produk politik akan terus dieksploitasi menjadi alat
kekuasaan ? Bukankah hukum adalah panglima ? Bukankah agama Islam itu harus
diterapkan dan menjadi rahmat bagi semesta alam ? Islam bukan alat politik
untuk memoles citra dan menangguk elektabilitas.
Advokat Azam Khan, SH, melihat tata kelola Negara
sudah pada taraf sangat mengkhawatirkan. Negara telah dijadikan jaminan untuk
mencari hutang hingga ribuan triliun rupiah, angka yang sangat fantastis.
Negara tidak lagi dijalanakan untuk memberikan kemaslahatan bagi rakyat. “saya
sangat khawatir, apa iya kita akan mewariskan hutang kepada anak cucu kita ?
sementara seluruh asset, tambang di negeri ini semua sudah dikuasai asing”,
ungkapnya.
Sementara itu Ust Novel Bamukmin yang juga hadir
sebagai Nara Sumber, menegaskan betapa umat Islam saat ini diperlakukan secara
tidak adil. Suara umat Islam hanya jadi rebutan saat pemilihan. Tetapi, tuntutan
keadilan terhadap umat Islam tidak pernah didengarkan.
“kami umat islam untuk menuntut keadilan agar Ahok di
Penjara, butuh aksi hingga tujuh juta orang, mahal sekali keadilan di negeri
ini ?” tegas Ust Novel.
Bang Egi Sujana memberikan pemaparan tentang
pentingnya upaya menerapkan syariat Islam secara konstitusional. Saat ini,
eksekutif dan legislatif tidak diisi oleh orang-orang yang berkomitmen
memperjuangkan syariat Islam.
Bang Egi menyatakan “Negara berdasarkan Pancasila,
sila Pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang maha Esa. Mukaddimah Konstitusi
menyebut kemerdekaan atas berkat Rahmat Allah SWT. Jadi tuhan yang dimaksud
dalam sila ketuhanan yang maha Esa itu adalah Allah SWT, jadi hak
konstitusional umat islam untuk memperjuangkan syariat islam yang merupakan
syariat Allah SWT. Apalagi kebebasan beragama dan menjalankan Ibadhn sesuai
keyakinan juga dijamin oleh konstitusi”.
KH Ilyasa HI Wijaya selaku Ulama dari Mojokerto juga
menuturkan bagaimana hukum saat ini digunakan untuk mengkriminalisasi ulama.
Beliau sendiri mengalami persekusi, dilaporkan oknum Ormas yang diketahui
publik sering melakukan pembubaran pengajian.
“saat ini kita harus melakukan Perlawanan. Perlawanan
secara institusi, kombinasi ulama dan Advokat. Ulama tidak boleh hanya dijadikan
alat untuk meraih suara, Islam tidak boleh dipolitisasi hanya untuk meraih
kekuasaan. Ulama harus kembali ke khittohnya, mengemban misi Nabi”. Tegas
beliau.
Adapun Sekjen LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan
menegaskan tentang adanya realitas eksploitasi hukum untuk melanggengkan
kekuasaan dan memukul lawan politik. Chandra juga melihat, adanya politisasi
agama (Islam) yang dilakukan oleh aktor politik hanya untuk pencitraan dan
meraih suara. Hal ini menjadi jelas ketika borok itu diungkap Prof Machfud MD.
“Kriminalisasi terhadap Habib Riziq Syihab bukkti
nyata adanya eksploitasi hukum untuk memukul lawan politik. Juga terbitnya
Perppu Ormas yang dijadikan dalih untuk mencabut status BHP HTI pasca kekalahan
Ahok di pilkada Jakarta. Sementara, suara umat Islam hanya diunduh untuk
kontestasi politik, agama di politisasi untuk mendulang suara, setelah itu
ajaran dan syariat Islam dicampakkan” tambah Chandra.
Acara yang diadakan di Hotel Sofian
Tebet pada Ahad 19 Agustus ini diikuti oleh Para Advokat, Ulama dan tokoh
terpilih, berlangsung hangat dan penuh keakraban. Diakhir acara, para pembicara
dan peserta saling bersalaman dan berbincang hangat.