SISI HUMANISME DALAM PENANGANAN PERKARA PIDANA [Studi Kasus Penahanan Suherman Oleh Jaksa Penuntut Umum Kejari Bekasi]
Oleh: Ricky Fattamazaya Munthe, SH MH
Direktur Pembelaan Umum LBH PELITA UMAT
Direktur Pembelaan Umum LBH PELITA UMAT
Proses hukum dalam perkara pidana, sebelum vonis hakim adalah
serangkaian tindakan untuk mengkonfirmasi berbagai prasangka dan dugaan-dugaan.
Pada tingkat penyelidikan, prosesnya fokus untuk mengkonfirmasi ada tidaknya
tindak pidana. Sementara, penyidikan dilakukan untuk mencari pelaku tindak
pidana.
Pada proses penyidikan, serangkaian tindakan penyidikan hanya
menghasilkan kesimpulan seseorang ditetapkan dengan status hukum tersangka.
Aspek filosofinya, tersangka belum dibuktikan secara hukum bersalah, baru
sebatas Persangkaan.
Karenanya, asas presumption of innocent (asas praduga tidak
bersalah) wajib dikedepankan dalam proses penyidikan hingga penuntutan. Sebab,
boleh jadi proses penyidikan dan penuntutan yang dipersiapkan oleh kepolisian
dan kejaksaan selama berbulan-bulan, berakhir dengan vonis bebas dari majelis
hakim. Apa maknanya ? Vonis bebas mengkonfirmasi seluruh praduga dan prasangka
dalam proses penyidikan tidak terbukti.
Hanya saja, dalam proses penyidikan itu ada wewenang penyidik
maupun JPU untuk menahan tersangka. Namun, kewenangan ini tidak lepas bebas
tanpa syarat. Ada syarat, berupa adanya kekhawatiran atas tindakan tersangka
melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau melakukan tindak pidana lagi.
Kekhawatiran itu, pada kasus Suherman seharusnya tidak ada.
Sebab, penyidik kepolisian Resort metro kota bekasi, telah memberikan
penangguhan penahanan kepada Suherman. Dalam proses pemberian penangguhan,
terbukti Suherman tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan
tidak melakukan tindak pidana lagi.
Suherman adalah tulang punggung keluarga, posisi Suherman
memiliki peran sentral untuk menopang ekonomi keluarga. Penangguhan yang
diberikan, juga tidak menghambat proses penegakan hukum terhadap kasus yang
disangkakan.
Karenanya menjadi aneh jika terhadap kasus Suherman ini
dipaksakan ditahan oleh jaksa. Negara, kehilangan sisi humanisme dalam proses
penegakan hukum. Padahal, tindakan penahanan terhadap tersangka bukanlah
kewajiban hukum.
Jaksa masih bisa menyidangkan kasusnya, meski tersangka/terdakwa
tidak ditahan. Jaksa setiap saat juga bisa memanggil tersangka, baik langsung
maupun melalui kuasa hukumnya, untuk menjalani serangkaian proses hukum yang
dibutuhkan.
Pada kondisi lain, jika penangguhan dilakukan, tersangka masih
tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai suami dan kepala rumah tangga.
Apalagi, kasus Suherman bukanlah kasus pidana yang menimbulkan korban luka atau
kehilangan nyawa. Suherman, adalah korban kasus pidana SARA, buntut Pilkada
kota bekasi beberapa waktu yang lalu.
Semoga saja, masih ada sisi
humanisme dari Kajari bekasi sehingga memberi penangguhan kepada Suherman,
sebagaimana Kapolresta kota bekasi yang memberikan penangguhan penahanan.
Ikhtiar umat Islam menyampaikan aspirasi, melalui aksi unjuk rasa damai pada
Senin 20 Agustus 2018, adalah upaya untuk menggugah sisi humanisme aparat
penegak hukum, khususnya jaksa penuntut umum, untuk dapat bertindak adil arif
dan bijak pada kasus yang menimpa Suherman.