GUS NUR DI ‘TARGET’ (LAGI)
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. Ketua LBH PELITA UMAT
Kembali, Sugi Nur Raharja alias Gus Nur alias Cak Nur
mendapat panggilan dari Kepolisian Resort Surabaya, akan diperiksa pada hari
Rabu (12/9). Dua pasal karet kembali menjerat Gus Nur, pasal 27 ayat (3)
tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, pasal 28 ayat (2) tentang
penyebaran kebencian atas dasar SARA, UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan UU
No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dua pasal yang menjadi dasar pemanggilan Gus Nur,
diancam dengan pidana 4 (empat) tahun dan 6 (enam) tahun penjara.
Pasal 45 ayat (1) UU ITE menyatakan:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan
penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.
Adapun dalam ketentuan Pasal 45A ayat (2), disebutkan
:
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/ atau denda
paling banyak Rp 1. 000.000. 000,00 (satu miliar rupiah)”.
Nampak sekali, dasar pasal yang dijadikan rujukan
pemanggilan Gus Nur alternatif kumulatif. Penyidik, tidak saja menjerat dengan
pasal penghinaan dan pencemaran melalui sarana ITE dengan ancaman pidana 4
(empat) tahun, tetapi juga menarik pasal penyebaran kebencian SARA dengan
ancaman pidana 6 (enam) tahun.
Teknik penyelidikan seperti ini, jika perkara
ditingkatkan pada tahap penyidikan menjadikan penyidik memiliki wewenang untuk
menahan tersangka karena ancaman pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian
SARA 6 (enam) tahun. Artinya, melampaui batas minimum wewenang menahan hingga
berupa perkara pidana dengan ancaman (5) tahun.
Soal yang menjadi dasar pemanggilan belum diketahui
secara pasti. Pada kasus Gus Nur di Polda Sulawesi Tengah, Ceramah Gus Nur yang
diunggah dalam akun YouTube terkait nasihat dakwah Gus Nur kepada Ormas yang
membubarkan pengajian Ust Felix Shiau, diketahui menjadi pengkal soalnya.
Dibalik laporan itu, ada Ormas Tertentu yang menjadi pihak pelapor yang merasa
dirugikan karena kerap disebut sebagai Ormas yang gemar membubarkan pengajian.
Jika melihat konstruksi pasal pemanggilan, Perkara
yang menimpa Gus Nur ini nampaknya akan mengulang seperti kasus-kasus
sebelumnya. Tentang adanya ormas tertentu yang merasa nama baiknya dicemar atau
dihinakan dan tudingan menyebarkan kebencian dan SARA terhadap ormas dimaksud.
Melihat Trend pelaporan, dan sigapnya penyidik
kepolisian menindaklanjuti kasus, termasuk penggunaan pasal dengan ancaman
pidana yang bisa digunakan untuk menahan tersangka, kuat dugaan Gus Nur
‘ditarget’ penguasa. Penyidik, begitu cepat merespons laporan polisi terhadap
Gus Nur dan para aktivis yang kontra rezim, sementara sampai hari ini
kepolisian tetap bungkam ketika ditanya proses hukum para penista agama seperti
Busukma, Ade Armando, Victor laiskodat, cornelis, dll.
Gus Nur di ‘target’ dengan pasal karet UU ITE, yakni
pasal 28 ayat (2) UU ITE, sebagaimana dialami oleh Jonru, Asma Dewi, Ust.
Alfian Tanjung, Buniyani hingga artis Ahmad Dani. Belum tuntas kasus Gus Nur
terkait pidana SARA di Polda Sulteng, kini kasus serupa menjerat Gus Nur di
polres Surabaya.
Nampak kontras, dimana proses penegakan hukum mengarah
kepada aktivis, ulama dan tokoh yang kontra rezim. Gus Nur sendiri, diketahui
sangat vokal mengkritik rezim dan menggaungkan semangat 2019 ganti Presiden.
Bahkan, pada gekaran aksi di Solo, Gus Nur secara terbuka mengajak umat untuk
tidak memilih pemimpin yang terbukti ingkar janji.
Sementara kepada tokoh dan aktivis pro rezim, yang
secara telanjang mengujar kebencian dan SARA, baik dalam alam nyata maupun di
jejaring sosial media, penguasa bungkam. Umat, hanya mampu bersabar dan menahan
marah tanpa bisa berbuat apa-apa. Jika mengambil ikhtiar lapor polisi, perkara
sering diambangkan.
Ini tidak boleh dibiarkan, hukum dan instrumen negara
tidak boleh disalahgunakan menjadi alat kekuasaan untuk membungkam aspirasi
umat Islam. Hukum harus kembali menjadi panglima, memaksa kekuasaan politik
patuh pada konstitusi.
Karenanya, segenap elemen umat, para
ulama, advokat, politisi, pengusaha, harus bersatu padu melawan rezim dan
saling berhimpun untuk saling melindungi. Kasus Gus Nur ini, harus dikawal oleh
segenap umat Islam.