IZIN TAGAR DUKUNG CAPRES: POLRI GAGAL MEMAHAMI HAK KONSTITUSI RAKYAT UNTUK MENYATAKAN PENDAPAT
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H. Ketua LBH PELITA UMAT
Belum lama ini Polri mengeluarkan surat perintah untuk
jajaran soal pemberian izin acara gerakan tanda pagar (tagar) dukungan capres.
Dalihnya, dukungan itu bisa menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat
(2/9).
Disebutkan dalam surat telegram yang beredar, munculnya
gerakan tagar 2019GantiPresiden, tagar 2019TetapJokowi dan tagar
2019PrabowoPresiden di berbagai daerah berpotensi menimbulkan konflik
horizontal antarpendukung capres-cawapres di tengah masyarakat.
Padahal, publik perlu mengkaji realitas tagar yang
beredar ditengah masyarakat. Apakah sebagian atau keseluruhan tagar tadi adalah
bentuk kampanye capres ? Apakah sebagian atau keseluruhan kegiatan tagar tadi
wajib meminta izin Polri ? Apakah sebagian atau keseluruhan kegiatan tagar tadi
berpotensi menimbulkan keresahan berupa konflik antar pendukung capres ditengah
masyarakat ?
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 35 UU No. 7 tahun 2017
Tentang Pemilu dinyatakan :
“Kampanye Pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau
pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan
menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu”.
Diantara gerakan tagar 2019GantiPresiden, tagar
2019TetapJokowi dan tagar 2019PrabowoPresiden, maka tagar 2019TetapJokowi dan
tagar 2019PrabowoPresiden adalah tagar yang termasuk dan terkategori dukungan
kepada capres tertentu.
Kegiatan menggelorakan tagar 2019TetapJokowi dan tagar
2019PrabowoPresiden adalah kegiatan yang termasuk dan terkategori dalam
kegiatan kampanye pemilu. Sebab, kedua tagar ini jelas menawarkan nama calon
tertentu yang diusung perserta pemilu yang melibatkan peserta pemilu (partai)
dan atau yang ditunjuk oleh perserta pemilu untuk menawarkan visi dan misi
Jokowi dan Prabowo.
Ditengah masyarakat, sudah marak kampanye program dan
citra diri baik yang dipromosikan oleh tim Jokowi maupun Prabowo, meskipun
tahapan masa kampanye Pilpres belum dibuka KPU. Bahkan, ormas Projo tidak
malu-malu mengkampanyekan Jokowi dua periode dalam berbagai kegiatan dan
kesempatan. Begitu juga partai dan gabungan partai yang mengusung Jokowi – MA,
dalam berbagai kesempatan giat mempromosikan Jokowi – MA.
Kegiatan masyarakat baik dipelopori partai, ormas atau
individu untuk menggaungkan tagar 2019TetapJokowi dan tagar 2019PrabowoPresiden
sesungguhnya menyalahi UU pemilu karena dilaksanakan tidak dalam masa kampanye
pemilu.
Adapun kegiatan Tagar 2019GantiPresiden bukanlah
bagian dari kegiatan kampanye pemilu, karena kegiatan ini tidak dilakukan oleh
peserta pemilu atau pihak yang ditunjuk oleh peserta pemilu, bukan untuk tujuan
meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri
Peserta Pemilu tertentu.
Tagar 2019GantiPresiden adalah murni aspirasi rakyat
yang mengindera kegagalan demi kegagalan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi
yang menjabat pada periode 2014-2019, dan kemudian mengajukan tuntutan untuk
menggantinya pada akhir periode jabatan tahun 2019 sebagaimana diatur oleh
konstitusi. Tagar 2019GantiPresiden adalah hak konstitusi rakyat yang dijamin
UUD dan peraturan hukum yang berlaku.
Dalam ketentuan pasal 28 E ayat (3) UUD 1945,
menyebutkan bahwa :
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Dalam pertimbangan UU No 9 tahun 1998 tentang
Kemerdekaan Menyatakan Pendapat Dimuka Umum, ditegaskan bahwa kemerdekaan
menyampaikan pendapat di muka umum adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh
Undang-Undang Dasar 1945 dan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.
Selanjutnya dalam ketentuan pasal 1 ayat (1)
disebutkan :
“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap
warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya
secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
Nalar hukum yang mendasari pelaksanaan aspirasi Tagar
2019GantiPresiden adalah bahwa Tagar 2019GantiPresiden adalah bagian dari
Kemerdekaan menyampaikan pendapat yang menjadi hak setiap warga negara.
Karenanya, setiap warga negara tidak memerlukan izin negara untuk melaksanakan
haknya, menyampaikan aspirasi didepan publik secara merdeka, tanpa tekanan dari
pihak manapun.
Negara hanya memfasilitasi sekaligus menjamin
terjadinya aktivitas penyampaian pendapat dimuka umum agar selaras dan sejalan
dengan harmoni ditengah masyarakat, menjaga keamanan dan ketertiban ditengah
masyarakat, agar setiap warga negara memahami hak sekaligus tanggungjawab hukum
untuk melaksanakan aktivitas menyampaikan pendapat.
Karenanya, perintah UU No. 9/1998 bagi aktivitas
melaksanakan kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum adalah mengirimkan
surat pemberitahuan, bukan meminta izin kepada polisi.
Pasal 10 “(1) Penyampaian pendapat di muka umum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 wajib diberitahukan secara tertulis kepada
Polri”.
Karenanya aneh sekali dan melanggar konstitusi jika
aktivitas menyampaikan aspirasi dan pendapat melalui kegiatan Tagar
2019GantiPresiden wajib meminta izin Polri. Polri hanya perlu menerbitkan STTP
(Surat Tanda Terima Pemberitahuan), bukan izin. Polri tidak berwenang memberi
atau menolak izin bagi warga negara yang hendak menggunakan hak
konstitusionalnya dalam mengemukakan pendapat.
Kegiatan tagar 2019GantiPresiden juga tidak
menimbulkan keresahan dan potensi konflik antar pendukung Jokowi dan Prabowo.
Tagar ganti Presiden tidak pernah mengusung sosok atau calon tertentu, tetapi
hanya fokus menyampaikan aspirasi tertentu.
Karenanya polisi tidak boleh berhalusinasi dengan
membayangkan akan terjadi konflik antar pendukung jika kegiatan kemerdekaan
menyampaikan pendapat 2019 ganti Presiden diselenggarakan.
Memang benar, tagar 2019 ganti Presiden mengkritik
Jokowi selaku pejabat petahana. Namun, dalam iklim tata kelola bernegara wajar
saja rakyat mengkritik dan mengevaluasi kinerja pemerintahan. Bahkan sah dan
legal jika rakyat ingin mencabut mandat dari Jokowi, asal dilaksanakan secara
konstitusional melalui Pilpres 2019.
Jika polisi masih bersikukuh dan terus berdalih adanya
potensi konflik karena kegiatan penyelenggaraan aspirasi lantas apa argumennya
? Bukankah itu hak konstitusi ? Bukankah polisi berwenang mengatur jadwal,
bukan melarang kegiatan ? Bukankah tugas polisi memberi STTP bukan menerbitkan
izin ? Bukankah pengaturan kegiatan bisa dilakukan oleh polisi ?
Bahkan bukankah polisi bisa melarang tagar
2019TetapJokowi dan tagar 2018PrabowoPresiden, karena keduanya melanggar UU
pemilu karena belum masuk tahapan kampanye Pilpres ? Bukankah berdasarkan UU
pemilu, hanya tagar 2019GantiPresiden yang diperbolehkan karena murni aspirasi
dan bukan kegiatan kampanye capres ?
Karenanya tidak ada keresahan ditengah masyarakat atas
adanya kegiatan tagar 2019GantiPresiden. Justru, diberbagai daerah masyarakat
antusias menyambut dan terlibat kegiatan tagar 2019GantiPresiden.
Jika mau jujur, Jokowi dan partai pendukungnya-lah
yang resah atas eksistensi gerakan tagar 2019GantiPresiden. Karena itu, publik
tidak keliru berpraduga jika berbagai aktivitas penghalangan dan pembubaran
kegiatan tagar 2019GantiPresiden oleh sekelompok kecil masyarakat atau ormas
tertentu didalangi oleh rezim.
Sekali lagi kepada kepolisian,
berdirilah tegak diatas hukum, berpihaklah kepada rakyat, jangan sampai polisi
menjadi alat kekuasaan. Sikap paling bijak dan bermartabat, juga berkesesuaian
dengan hukum dan konstitusi adalah polisi bersikap netral, tidak jatuh pada
hiruk pikuk Pilpres dan apalagi menjadi partisan politik.