ADA MOTIF POLITIK DIBALIK KASUS ‘HOAX’ KONTEN DUGAAN PERJANJIAN WALIKOTA DAN GEREJA DI KOTA BEKASI
Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT
Ketua LBH PELITA UMAT
Sidang pada Rabu (3/10) masih dengan agenda
pemeriksaan saksi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi Yusuf ketua RT
di kelurahan Bantar gebang dan Hadi Sunaryo, Kuasa Hukum Pelapor yang juga
anggota Tim Advokasi Pemenangan Pasangan Calon Rahmat Efendi dan Tri Adhianto.
Keduanya dihadirkan, untuk memperjelas duduk perkara sesuai dengan apa yang
didakwakan oleh JPU. Sementara itu, Saksi Rahmat Efendi selaku pihak pertama
yang namanya ada pada konten foto diduga dokumen perjanjian antara Rahmat
Efendi selaku pihak pertama dengan beberapa elemen gereja dan pendeta sebagai
Pihak Kedua, tidak hadir.
Dua kali Rahmat Efendi mengirim surat kepada Majelis
Hakim melalui JPU ihwal permohonan tidak dapat menghadiri persidangan. Padahal,
kehadiran Rahmat Efendi sangat penting untuk mengungkap kasus ini. Sebab,
Rahmat Efendi adalah pihak pertama yang wajib diambil keterangannya sehubungan
dengan dugaan adanya konten foto diduga dokumen perjanjian antara Rahmat Efendi
selaku pihak pertama dengan beberapa elemen gereja dan pendeta sebagai Pihak
Kedua.
Pihak Kedua dari unsur pendeta dan gereja semuanya
telah hadir dan diperiksa dipersidangan. Jika Rahmat Efendi tidak hadir, tentu
hal ini akan mementahkan dakwaan JPU. Karena konten foto tersebut, yang menjadi
asas dan dasar dakwaan.
Yang mengagetkan, adalah keterangan dari Hadi Sunaryo
selaku kuasa hukum Pendeta Johanes Nur, yang juga anggota Tim Advokasi
Pemenangan pasangan Rahmat Efendi dan Tri Adhianto, pada Pilkada di kota Bekasi
beberapa waktu yang lalu. Keterangan ini, sekaligus mengungkap ‘motif utama’
kasus bergulir adalah motif politik, bukan isu Kebencian dan SARA sebagaimana
dakwaan dari JPU.
Beberapa keterangan yang mengejutkan dari saksi kuasa
hukum Johanes Nur yang diungkap dipersidangan adalah sebagai berikut :
Pertama, Kuasa Hukum Johanes Nur yang melakukan
pendampingan saat pelaporan ke polisi, mengaku memperoleh konten foto diduga
dokumen perjanjian antara Rahmat Efendi selaku pihak pertama dengan beberapa
elemen gereja dan pendeta sebagai Pihak Kedua, dari Group WhatsApp (GWA)
Komunitas Relawan dan Tim Advokasi.
Dalam GWA tersebut ada sekitar 200 an nomor relawan
pasangan Rahmat Efendi dan Tri Adhianto, dan saksi berada didalamnya. Saksi
memperoleh konten dari nomor yang tidak diketahui namanya, yang ada di GWA
Relawan dan GWA tim Advokasi. Setelah diperdalam apakah terdakwa ada di GWA
atau menjadi anggota kedua GWA tersebut, dijawab saksi tidak.
Karenanya, menjadi aneh ketika pelapor lapor ke polisi
kenapa terdakwa yang dikejar ? Bukankah penyidik seharusnya mengejar ‘oknum’
yang ada pada GWA Relawan atau Tim Advokasi Pasangan Rahmat Efendi, mengingat
konten diperoleh saksi dari dua GWA tersebut, dan bukannya dari terdakwa.
Kedua, saksi juga berkoordinasi dengan RASNIUS
PASARIBU untuk melaporkan ke polisi dan menjadi kuasa hukum pendeta Johanes Nur
untuk melapor. Tetapi, pendeta Johanes Nur dan elemen pendeta dan gereja juga
mendapat konten dari komunitas gereja termasuk dari RASNIUS PASARIBU, bukan
dari Terdakwa. Lantas kenapa Terdakwa yang menjadi diburu ?
Jika melihat konstruksi kasus, kuat dugaan terdakwa
dibidik. Sebab, proses penegakan hukum khususnya penetapan tersangka tidak
mengikuti alur penyidikan. Bukankah penyidikan seharusnya mengarah kepada orang
pertama yang mengirim konten tersebut kepada Pelapor atau kuasa hukumnya ?
Lantas, kenapa penyebar konten di GWA komunitas gereja, termasuk di dua GWA tim
relawan dan tim Advoksi tidak ditindak ?
Yang paling mengejutkan, keterangan saksi yang
mengungkap adanya motif politik. Yakni, kekhawatiran tergerusnya elektabilitas
pasangan Rahmat Efendi dan Tri Adhianto, akibat beredarnya konten foto diduga
dokumen dimaksud. Jika motifnya ini, wajar yang disasar terdakwa atau pihak
lain, bukan dari internal GWA tim
Relawan dan Tim Advokasi, yang juga mengirim konten dimaksud.
Relawan dan Tim Advokasi, yang juga mengirim konten dimaksud.
Selain itu, saksi juga menerangkan adanya kekhawatiran
gereja atas adanya benturan umat beragama akibat beredarnya konten. Setelan
penulis selaku kuasa hukum bertanya apakah karena konten tersebut suara
pasangan Rahmat Efendi dan Tri Adhianto tergerus dan kalah ? Siapa pemenang
Pilkada kota Bekasi ? Dijawab, tidak. pasangan Rahmat Efendi dan Tri Adhianto
menjadi pemenang Pilkada. Selanjutnya, ketika penulis bertanya adakah huru
hara, kerusuhan dan benturan antar umat beragama karena beredarnya konten foto dokumen
dimaksud ? Dijawab : tidak ada.
Adapun Saksi Yusuf selaku ketua RT menerangkan bahwa
dia berusaha melakukan klarifikasi dan memediasi Terdakwa di kantor RW 02
kelurahan bantar gebang. Motif politik kasus juga menguat dari keterangan saksi
yang mengakui selain RT juga ternyata Timses pasangan Rahmat Efendi dan Tri
Adhianto. Saksi mengaku terdapat banyak orang yang hadir saat proses mediasi di
kantor RW.
Yang menyedihkan, di kantor RW terjadi persekusi
terhadap terdakwa. Saksi memaki terdakwa dengan kata-kata kasar, menyebut
terdakwa ‘TENGKORAK’, mungkin karena fisik terdakwa yang kurus kerontang.
Pernyataan maaf yang dibuat dibacakan oleh terdakwa,
juga tidak ditindaklanjuti secara arif dengan menyelesaikan secara damai.
Terdakwa justru dibawa ke Polsek Bantar Gebang, untuk selanjutnya dibawa ke
polres kota Bekasi, diperiksa, langsung ditetapkan sebagai tersangka dan
ditahan.
Saat di RW juga terjadi aksi penampakan muka terdakwa,
dan hal itu diakui saksi saat kuasa hukum menunjukan video persekusi dan penampakan
terdakwa. Hanya saja, saksi tidak tahu siapa pelaku penampakan, meski
penampakan hanya berjalan 1,5 m didepan saksi.
Sepanjang persidangan, Saksi Yusuf terlihat berbelit.
Bahkan, baru mengakui telah memaki terdakwa dan menyebut ‘Tengkorak’ juga mengakui
sebagai timses pasangan calon Pilkada setelah terdakwa mengajukan klarifikasi
dan konfrontasi dihadapan majelis.
Kasus ini memberi pelajaran berharga adanya dugaan
kuat rangkaian proses penegakan hukum yang tidak alami berjalan sesuai dengan
asas, proses, prosedur dan urutan peristiwa pidana yang terjadi. Seseorang bisa
di ‘target’ sementara pelaku yang lain dikesampingkan, tanpa ada kontrol dan
kendali. Hukum akan sangat subjektif, tergantung pada ‘selera’ dan
target-target yang telah ditetapkan.
Kedepan, penulis berharap saksi Rahmat Efendi dapat
hadir di persidangan. Selain saksi kunci, penulis ingin mengkonfirmasi langsung
kabar rahmat Efendi telah memaafkan terdakwa dan tidak mempersoalkan lebih
lanjut. Bahkan, dikabarkan Rahmat Efendi pernah menengok terdakwa saat
berstatus Tahanan di Polres Kota Bekasi.
Sepanjang persidangan, puluhan orang
dari ormas Islam di kota Bekasi hadir memenuhi ruang sidang. Diakhir
persidangan, Pak Verry dari FAPB dan Pak Agung dari LBH Bang JAPAR, menegaskan
bahwa keduanya akan terus mengawal kasus hingga tuntas.