MENYINGKAP TABIR PERPPU ‘SAPU JAGAT’ DIBALIK PANDEMI CORONA
Perppu ‘Sapu Jagat’ dimaksudkan dalam tulisan
ini adalah Perppu Nomor 1 Tahun
2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk
Penanganan Pandemi Covid-19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang
Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Disebutkan demikian, oleh karena Perppu tersebut telah membatalkan sebanyak aturan
tertentu dalam 12 (dua belas)
undang-undang, yakni; Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; Bank Indonesia;
Keuangan Negara; Perbendaharaan Negara; Lembaga Penjamin Simpanan; Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; Kesehatan; Desa;
Pemerintahan Daerah; Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Pencegahan dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan; dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2020. Kesemuanya dinyatakan tidak berlaku sepanjang berkaitan dengan
kebijakan keuangan negara untuk penanganan penyebaran COVID-19 dan/atau dalam
rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau
stabilitas sistem keuangan berdasarkan Perppu a quo.
Dilihat dari judulnya, Perppu berlaku juga terhadap adanya ancaman
yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Ketentuan ini secara jelas dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (3), disebutkan
bahwa untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka: a. penanganan
pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau; b. menghadapi ancaman
yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan,
perlu menetapkan kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem
keuangan. Namun, tidak ada kejelasan perihal ancaman apa yang dimaksudkan,
selain pandemi COVID-19. Dapat dikatakan Perppu tersebut telah ‘mendompleng’
pandemi COVID-19.
Diterbitkannya
Perppu ini ternyata lebih dimaksudkan
untuk kepentingan pemerintah guna menetapkan
batasan defisit anggaran untuk melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik
Bruto (PDB) hingga Tahun Anggaran 2023. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 2 ayat
(1) huruf a. Disini terkonfirmasi adanya agenda terselubung dengan memasukkan
ketentuan dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b tersebut. Seiring dengan itu, menurut
keterangan pemerintah bahwa pemberlakuan status “Darurat Sipil” dalam
penanganan COVID-19 akan dilakukan jika keadaannya semakin memburuk berdasarkan
Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Penting untuk dicermati,
apabila kemudian DPR menyetujui Perppu a quo menjadi Undang-Undang, maka bisa saja
terjadi pemberlakuan Darurat Sipil yang bukan lagi didasarkan alasan
”Kedaruratan Kesehatan Masyarakat”, namun dengan dasar adanya “Kedaruratan
Negara” , tentunya dikaitkan dengan ancaman yang membahayakan terhadap
perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan. Bukan hal yang
mustahil, akan terjadi pula hal yang sama yakni pemanfaatan situasi tertentu sebagai
alasan pemberlakuan status Darurat Sipil. Kita ketahui bahwa sebelumnya telah
ada Perppu Ormas yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017.
Undang-Undang Ormas ini, secara langsung maupun tidak langsung telah mempersamakan
ajaran Islam tentang konsep Khilafah dengan ajaran ateisme,
komunisme/marxisme-leninisme. Penyamaan yang tidak patut dan tidak sebanding
ini dimaksudkan sebagai “paham lain” yang bertujuan mengganti/mengubah
Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat kita nyatakan asumsi
(hipotesis) sebagai berikut, jika Perppu Nomor 1/2020 ditetapkan menjadi
Undang-Undang, kemudian baik dalam masa penanganan pandemi COVID-19 maupun
ketika pandemi telah berakhir, kemudian Presiden melihat adanya ancaman yang
membahayakan terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem
keuangan, maka status Darurat Sipil dapat diberlakukan. Lebih lanjut, timbul pertanyaan
serius, apakah ada hubungan ‘emosional’ antara Perppu Nomor 1 Tahun 2020, Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan
Bahaya dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas terkait pemberlakuan
Darurat Sipil dalam rangka menyelamatkan perekonomian nasional dan/atau
stabilitas sistem keuangan ?.
Terlepas dari polemik Perppu Sapu Jagat ini dan dalam hubungannya
dengan opsi pemberlakuan Darurat Sipil, maka harus secara objektif kita menilai
manfaat keberlakuannya. Sesuai dengan kondisi awal terbitnya Perppu adalah
dalam rangka merespon pandemi Covid-19 yang mengancam keselamatan jiwa rakyat.
Adapun persoalan ekonomi adalah resultan. Dengan demikian, maksud dan tujuan
seharusnya adalah penanggulangan dan pemulihan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Tidaklah dapat dibenarkan Perppu menyelipkan tambahan frasa “ancaman yang
membahayakan” terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem
keuangan. Tambahan demikian bersifat tidak pasti (multi tafsir). Ketika pandemi
telah berakhir, klausula tersebut masih terus berlangsung dan tidak ada
kejelasan kriterianya. Di sisi lain, sangat terbuka kemungkinan pemberlakuan
status Darurat Sipil. Terdapat hubungan sistemik antara kedaruratan negara
dengan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan yang terancam
bahaya. Tentunya, pernyataan adanya ancaman yang berbahaya tersebut secara
sepihak dan subjektif dari Presiden.
Pemberlakuan Darurat Sipil bertentangan dengan pemenuhan jaminan
hak asasi. Pemerintah akan bertindak
otoriter, dan oleh karenanya sangat rentan terjadinya ‘abuse of power’ berupa
tindakan ‘persekusi’ dan ‘kriminalisasi’. Menurut Perppu Keadaan Bahaya,
pembatasan ruang gerak ditempuh dengan cara-cara luar biasa yang menyimpang
dari peraturan perundang-undangan yang ada dalam masa normal. Dapat disebutkan,
antara lain, penerbitan peraturan Kepolisian, tindakan penggeledahan dan/atau
penyitaan, penyadapan, pembatasan dan bahkan penghancuran alat komunikasi.
Pembatasan berpendapat baik lisan maupun tulisan, termasuk pembatasan berbagai
pertemuan (perkumpulan). Pembatasan kegiatan di luar rumah dengan penetapan
‘Jam Malam’.
Telah menjadi jelas bahwa tujuan diterbitkannya Perppu Sapu Jagat
adalah bukan untuk kepentingan mengupayakan terjaminnya keselamatan rakyat,
namun lebih bermotifkan ekonomi belaka. Sesuai dengan adagium “salus
populi suprema lex esto” (keselamatan rakyat merupakan hukum
tertinggi), maka DPR harus berfikir ‘seribu kali’ untuk menyetujuinya menjadi
undang-undang. Sekian.
Dr. H. Abdul
Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur
HRS Center)
No comments